Pengertian Pernikahan, Hukum, Syarat, Rukun, dan Tata Caranya

Diposting pada

Pernikahan Adalah

Pernikahan yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk sosial adalah serangkaian kondisi yang dinilai sakral. Dalam semua agama, pernikahan ini memiliki tata cara serta hukum tersendiri, termasuk dalam Agama Islam sendiri.

Pernikahan

Pernikahan dalam istilah Fiqih disebut dengan nikah. Nikah merupakan salah satu syariat yang diturunkan lebih awal dibandingkan dengan syariat-syariat yang lain. Pernikahan pertama kali terjadi pada Nabi Adam. Dan pada Nabi Adam tersebut, syariat tentang pernikahan sudah ada.

Nikah dalam arti bahasa selalu dikaitkan dengan wathi atau hubungan badan antara suami-istri. Berbeda dengan pengertian pernikahan dari kaca mata syara’. Pernikahan atau nikah dari kaca mata syara’ adalah akad yang memiliki rukun tertentu dan dengan syarat tertentu pula.

Pengertian Nikah

Nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan badan dengan akad tertentu. Sebatas itulah pengertian nikah secara syara’. Dengan begitu, nikah atau pernikahan bukan akad kepemilikan, melainkan akad untuk menghalalkan, meski masih ada perbedaan pendapat terkait ini.

Salah satu pendapat terkait nikah menyebut, pernikahan adalah akad kepemilikan. Artinya, dengan definisi akad tersebut, seorang perempuan akan menjadi milik laki-laki yang menikahinya. Ini tentu berbeda dengan pendapat yang mengatakan pernikahan adalah akad yang menghalalkan hubungan badan. Dengan begitu, tidak ada milik memiliki di dalam akad pernikahan, melainkan hanya sebatas menghalalkan saja.

Tidak hanya satu dalil saja yang menjadi dasar hukum pernikahan di dalam Al Quran, melainkan ada beberapa. Di antaranya adalah:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

 (النساء/1)

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

[النور/32]

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

[الروم/21]

Hukum Pernikahan

Secara Fiqih, hukum nikah adalah sunnah. Namun begitu, hukum ini akan berubah sesuai dengan niat dan keadaan pada diri seseorang. Dengan begitu, maka rincian hukumnya bisa dibagi ke dalam beberapa hukum sebagai berikut:

  • Nikah menjadi wajib jika seseorang telah mampu untuk melaksanakannya. Di sisi lain, ada ketakutan yang kuat untuk melakukan zina jika dia tidak menikah. Ketakutan diri akan terjerumus pada zina ini yang lantas mewajibkan diri seseorang untuk menikah.
  • Hukum menikah menjadi haram jika seseorang khawatir dia tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada istri. Atau, jika tidak begitu, dikhawatirkan dia akan menelantarkan istrinya. Selain hal itu, ada juga alasan lain yang bisa menjadikan hukum pernikahan menjadi haram. Salah satunya adalah karena tidak memenuhi syarat-syarat tertentu.
  • Hukum sunnah menjadi wajib jika seseorang sudah mampu melaksanakannya. Di sisi lain, dia merasa yakin dirinya tidak akan berbuat zina meskipun tidak segera menikah. Kemampuan untuk menikah ini yang lantas mebuat hukum pernikahan menjadi sunnah seperti hukum asalnya.
  • Hukum makruh terlaku bagi seorang yang sesungguhnya tidak mampu untuk menikah. Sedang di sisi lain, dia masih mampu mengekang nafsunya untuk tidak berzina jika dia tidak menikah. Ketidakmampuan tersebut yang membuat hukum pernikahan menjadi makruh.
  • Hukum mubah ini terlaku jika niat orang untuk menikah hanya sekadar bersenang-senang. Sedang begitu, dia sudah memiliki kemampuan untuk menikah, namun merasa yakin tidak akan berbuat zina meski tidak menikah. Dengan kata lain, ketika seseorang tidak

Tambahan, ada satu penjelasan terkait menikah yang cukup menarik. Dikatakan, jika seseorang merasa bisa menjaga diri dari zina, namun tidak bisa menjaga matanya, maka lebih baik dia menikah. Alasannya, seseorang yang tidak bisa menjaga mata akan sulit menjaga arah pikirannya.

Seseorang yang sulit menjaga arah pikirannya, akan mudah terjebak untuk berbuat zina. Lebih-lebih jika ada kesempatan yang memungkinkan.

Ini sama hal dengan seseorang yang merasa mampu menahan diri dari syahwat terhadap perempuan. Tapi begitu, dia tidak bisa menahan diri dari syahwat ketika melihat anak kecil yang menurutnya tampan atau cantik. Maka, dalam kondisi seperti ini, akan lebih baik jika seseorang memilih menikah. Keterangan yang demikian seperti yang dijelaskan di dalam Ihyak Ulumiddin.

Syarat dan Rukun Pernikahan

Menikah itu ada syaratnya, pun ada rukunnya. Syarat nikah sendiri merupakan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh masing-masing hal di dalam rukun nikah. Rukun nikah sendiri adalah hal-hal yang harus ada ketika menjalani pernikahan.

Baik syarat nikah atau rukun nikah harus terpenuhi seluruhnya. Sebab, jika salah satu di antaranya tidak terpenuhi, gugur sudah pernikahan tersebut. Itu artinya, pernikahan yang dilakukan tidak sah secara agama.

Jumlah rukun nikah ada lima. Keseluruhan adalah wali dari pihak perempuan, dua orang saksi, calon suami, calon istri, serta shighot akad. Masing-masing rukun tersebut memiliki syarat tertentu.

Syarat Wali

Dalam pernikahan, yang disebut wali adalah wali dari pihak perempuan. Maka tidak menjadi soal jika orang tua atau wali dari pihak laki-laki tidak hadir saat akad nikah berlangsung. Umumnya, orang yang menjadi wali nikah adalah bapak. Lalu, jika bapak tidak ada misalnya, siapakah yang bisa menjadi wali?

Berturut-turut orang yang paling diutamakan menjadi wali adalah:

  1. Bapak
  2. Kakek dari jalur bapak, atau bapaknya bapak, atau bisa juga kakek dari bapak, urut hingga ke atas.
  3. Saudara laki-laki sebapak seibu. Bisa kakak dari mempelai perempuan atau adik dari mempelai perempuan.
  4. Saudara laki-laki yang sebapak saja, tidak seibu, dari mempelai perempuan.
  5. Anak laki-laki dari nomor tiga. Itu artinya, jika walinya adalah ini, maka wali merupakan kemenakan dari mempelai perempuan.
  6. Anak laki-laki dari nomor empat.
  7. Saudara bapak dari mempelai perempuan yang sekandung.
  8. Saudara bapak dari mempelai perempuan yang sebapak.
  9. Anak laki-laki dari nomor 7 atau 8.

Nah, setelah orang yang menjadi wali sudah jelas, barulah dilihat wali tersebut sudah memenuhi syarat wali atau belum. Syarat untuk menjadi wali adalah:

  1. Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Merdeka, maksudnya bukan seorang budak seperti yang terlaku zaman jahiliyyah dulu.
  5. Laki-laki
  6. Adil yang dimaksud di sini adalah tidak fasik atau tidak melakukan dosa besar. Namun begitu, ada pembahasan lebih lanjut terkait ini karena sulitnya mencari seseorang yang benar-benar bersih dari dosa.

Syarat Dua Orang Saksi

Ada dua orang saksi merupakan bagian dari rukun nikah. Dua orang saksi itu pun harus memenuhi kriteria 6 hal. Enam hal tersebut sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh wali pihak perempuan, yaitu islam, baligh, dan seterusnya.

Syarat Calon Suami

Syarat menjadi calon suami adalah harus beragama Islam, jelas, tidak terpaksa, dan tidak memiliki halangan untuk melangsungkan pernikahan. Tambahan, calon suami tersebut harus benar-benar laki-laki, mengingat banyaknya kasus transgender baru-baru ini.

Syarat Calon Istri

Syarat menjadi calon istri adalah islam atau boleh juga ahlul kitab, juga tidak terhalang untuk melangsungkan pernikahan. Calon istri juga harus jelas dan bukan perempuan karena transgender.

Shighot Akad

Shighot sering disebut dengan ijab qabul. Ijab adalah perkataan dari pihak wali, sedang qabul adalah perkataan dari calon suami. Bunyi shighot ijab dan qabul ini berbeda meski sama-sama boleh menggunakan bahasa setempat. Contoh shighot ijab dan qabul berturut-turut adalah:

يَا فلان بن فلان, اَنْكَحْـتُكَ وَزَوَّجْـتُكَ مَخْطُوْبَتَكَ فلانة بنت فلان بِمَهْرِ مصحف القرأن وألات الصلاة حالا.

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيـْجَهَا بِالْمَهْرِالْمَذ ْكُوْرِ نَـقْدًا

Tata Cara Pernikahan

Sebelum menikah, yang harus ditentukan adalah dengan siapa akan menikah. Barulah kemudian menentukan yang lain-lain, temasuk menentukan mahar.

Mahar dalam pernikahan bukan termasuk ke dalam rukun nikah, tetapi memiliki dasar hukum sunnah. Meski begitu memberi mahar amat disunnahkan. Bahkan, pemberian mahar ini hampir-hampir dianggap oleh semua orang sebagai sesuatu yang wajib.

Kiranya ulasan di atas sudah cukup jelas. Selanjutnya, semoga ulasan tentang pengertian pernikahan, hukum, syarat, rukun, dan tata caranya bisa bermanfaat serta memberikan wawasan dan menambah referensi mendalam bagi segenap pembaca sekalian. Trimakasih,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *